Mitos Larangan Pernikahan Antara Suku Jawa dengan Sunda - Mitos soal permusuhan antara suku Jawa dan Sunda telah beredar luas. Dari mitos itu pula sering kali kita orang tua mewanti-wanti agar tidak melangsungkan pernikahan antara kedua suku tersebut. Mitos ini bahkan masih banyak dipercaya hingga saat ini. Entah itu sudah menjadi kepercayaan yang melekat diantar kedua suku atau hanya perasaan takut atas kejadian di masa lalu.
Sebelum melanjutkan pembahasan tentang mitos tersebut, mungkin banyak yang belum mengetahui mengapa bisa terjadi pertengkaran hebat di antara kedua suku ini. Berdasarkan sumber buku Santi Sutasoma: Menemukan Kepingan Jiwa Mpu Tantular, di masa lalu, kedua suku antara Jawa-Sunda pernah mengalami peristiwa pahit akibat kesalahan seorang pemimpin bernama Gajah Mada.
Kala itu Gajah Mada sebagai patih Dinasti Majapahit bersumpah dan bertekad menyatukan Nusantara dalam kekuasaan Majapahit. Namun saat itu, Kerajaan Sunda yang berada di bagian barat pulau Jawa menolak takluk. Sikap itu menodai Sumpah Palapa yang sudah ia ucapkan. Hingga hal tersebut menyebabkan perseteruan mulai terjadi antara Kerajaan Pakuan Pajajaran di Tanah Sunda dan Majapahit di Tanah Jawa.
Padahal, keduanya masih di satu pulau yang sama. Jika dilihat dari urutan silsilahnya, raja-raja Pakuan yang meneruskan dinasti Galuh saat itu masih memiliki hubungan darah dengan raja-raja Singasari dan Majapahit. Hubungan di antara mereka selama itu memang tidak cukup mesra, namun mereka juga tidak saling bermusuhan.
Mudahnya untuk mempertemukan keduanya sesungguhnya cukup dengan melewat jalur diplomasi. Namun, nyatanya jalur itu tidak membuahkan hasil, hingga akhirnya menyebabkan pertengkaran keduanya karena ulah Sang Patih. Diketahui dari pihak Raja Majapahit, Hayam Wuruk jatuh cinta kepada Dyah Pitaloka Citraresmi, putri dari Kerajaan Sunda.
Mengetahui hal tersebut Gajah Mada setuju dan ingin menjadikan pernikahan itu dianggap bukti Kerajaan Sunda takluk pada Majapahit. Namun, utusan Kerajaan Sunda pun tak setuju dan menolak tunduk. Akhirnya datanglah waktu dimana sebentar lagi Hayam Wuruk akan menikah dengan Dyah Pitaloka, Putri Pajajaran.
Sayang, Maha Patih (Gajah Mada) tidak cukup puas dengan arrangement itu, karena pernikahan itu dianggapnya justru akan mengukuhkan Pajajaran sebagai negara yang berdaulat dan setara dengan Majapahit.
Sang Maha Patih kemudian berbalik menyerang pasukan Pajajaran yang saat itu sudah berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit, di pantai Bubat. Ia menyerang pasukan pengiring raja, putri dan petinggi negara yang jelas tidak siap untuk menghadapi perang, karena hanya bertujuan untuk melakukan resepsi. Akibatnya seluruh utusan Kerajaan Sunda tewas, termasuk Maharaja Linggabuana dan Putri Dyah Pitaloka.
Konon pula, Dyah Pitaloka menusuk dadanya sendiri. Dengan cara itu, Maha Patih memang berhasil menaklukkan Pajajaran, tetapi sebagai akibatnya hingga hari ini pun tidak ada perdamaian antara keduanya. Peristiwa yang terjadi hampir tujuh abad yang lalu itu masih dikenang oleh orang Sunda. Bekas sayatan itu masih menyakitkan. Luka itu masih belum sembuh.
Tujuan Sang Maha Patih memang mulia, ia ingin mempersatukan kepulauan Nusantara dan lewat persatuan itu ia hendak menciptakan kedamaian. Namun, sikap pembenaran dan mau menang sendiri yang ditempuhnya untuk mencapai tujuan itu berakhir tidak baik bagi kedua belah pihak. Sehingga dari situlah, mitos permusuhan antar suku Jawa-Sunda terus berlangsung hingga saat ini. Bahkan gara-gara mitos permusuhan tersebut dari nama jalan hingga pernikahan sudah banyak yang menyebabkan berapa calon pasangan kekasih antara suku Jawa-Sunda yang batal lanjut ke pelaminan.
Ikuti Saluran WhatsApp Kami Garutselatan.info Lainnya di Google News