• Jelajahi

    Copyright © 2019- Garut Selatan Net
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan Header

    Kementan Akan Antisipasi La Nina Dengan Aksi

    Garsel Net
    Editor: Garutselatan.info Senin, 18 April 2022, 20:19 WIB Last Updated 2022-04-18T13:19:57Z
    Baca Juga

    Kementan Akan Antisipasi La Nina Dengan Aksi - Pemerintah diingatkan agar mewaspadai tren produksi padi nasional yang menurun pada masa periode fenomena alam La Nina dibandingkan dengan produksi padi pada periode yang sama beberapa tahun sebelumnya.

    La Lina


    Pada 2020-2021 itu adalah La Nina, iklim kemarau basah. Sepanjang sejarah, dari data yang saya miliki selama 20 tahun terakhir ini, selama La Nina produksi padi pasti naik relatif tinggi,” kata Guru Besar IPB University Prof. Dwi Andreas Santosa.


    Dia mencontohkan pada fenomena La Nina pada 2007 hingga 2010, produksi padi Indonesia naik antara 5%-6%. Fenomena La Nina selanjutnya pada 2016 produksi padi kembali meningkat hingga 9,6%.

    Sementara pada periode La Nina yang terjadi tahun 2020 dan 2021, produksi padi tidak meningkat dan cenderung stagnan atau bahkan menurun.


    “Produksi padi nasional di dua tahun terakhir itu jauh dari harapan. Tahun 2020 itu produksi kita hanya meningkat 0,09%, tahun 2021 malah minus 0,42%. Ini sebenarnya bahaya bagi kita semua,” kata Dwi Andreas dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (12/4/2022).


    Dia mengatakan, apabila produksi padi dalam negeri kembali merosot pada 2022, maka akan berdampak serius pada ketahanan pangan nasional. Sebab, beras merupakan komponen pangan yang teramat penting bagi masyarakat Indonesia.


    Andreas berpendapat, pengurangan jenis pupuk bersubsidi yang hanya akan menjadi Urea dan NPK saja — mulai semester II-2022 — akan berpengaruh pada produksi padi.

    Menurut dia, masih ada beberapa wilayah geografis Indonesia yang lahannya masih membutuhkan unsur pupuk lain, seperti ZA, SP-36, dan lainnya untuk memaksimalkan produksi padi.


    “Kalau tetap menggunakan mekanisme yang sekarang ini, terlalu berisiko untuk menghilangkan beberapa pupuk, yaitu karena produksi padi nasional di dua tahun terakhir itu jauh dari harapan,” katanya.


    Andreas juga menyarankan, apabila pemerintah berani melakukan dobrakan kebijakan, maka harus mengganti kebijakan pupuk bersubsidi menjadi bantuan tunai langsung (BLT) kepada petani. Bantuan tunai tersebut dapat dimanfaatkan petani sesuai kebutuhannya.


    Siaga Kemarau


    Sementara itu, Kementerian Pertanian telah menyiapkan langkah guna mengantisipasi puncak musim kemarau tahun 2022 yang nantinya akan berlangsung pada Agustus.


    Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan, Suwandi mengatakan air hujan dan run-off (limpasan) merupakan salah satu sumber daya alam yang selama ini belum termanfaatkan secara optimal, hanya dibiarkan mengalir ke saluran-saluran drainase menuju ke sungai-sungai yang akhirnya mengalir ke laut.


    Jika mampu diolah dan dikelola dengan baik, air hujan tersebut akan memiliki banyak manfaat bagi keberlangsungan hidup manusia, terutama untuk keberlangsungan penyediaan air, terutama di sektor pertanian.


    Dia menceritakan pengalaman ketika melakukan kunjungan ke daerah di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Daerah ini  sudah melakukan metode panen air, di setiap genteng rumah ada drum untuk menampung air hujan.


    “Di Gunung Kidul, di setiap bawah pohon besar, ada cekungan untuk menampung air,” katanya.


    Dia menjelaskan, gerakan panen air hujan ini adalah ilmu perubahan perilaku, di mana padahal pada tahun 70-an dan 80-an, Gunung Kidul terkenal dengan istilah sapi makan sapi.


    Namun, sekarang bisa memanfaatkan air hujan yang dulu dianggap muspro menjadi bermanfaat. Di Wonogiri, tanahnya banyak mengandung kapur tetapi dilapisi kompos setebal sekitar 30 cm, sehingga lahannya bisa ditanami jagung.


    Suwandi berharap semua bisa mengelola air, panen air sedemikian rupa sekaligus merubah kebiasaan untuk memanfaatkan air yang ada. Untuk sawah yang menggunakan sumur submersible, seharusnya jangan langsung masuk sawah untuk tanam padi terus ke sungai dan akhirnya ke laut. Air sebaiknya diputar dahulu untuk berbagai proses produksi, terakhir baru dilepas ke tempat pembuangan.


    “Setiap jengkal tanah harus dimanfaatkan, setiap tetes air itu sumber kehidupan. Saya salut dengan Grobogan, daerah kering tapi bisa tanam dan panen padi 4 kali setahun dengan memanfaatkan air hujan. Biasanya daerah air yang menjadi faktor pembatas, di situlah petani tangguh berjuang untuk mencukupinya,” imbuh Suwandi.


    Pada acara yang sama, Dekan Sekolah Vokasi UGM, Agus Maryono mendorong gerakan panen air sebagai langkah konkret mengantisipasi kekeringan, khususnya sektor pertanian. Menurutnya, masyarakat harus memulai gerakan panen air hujan, yakni dengan menerapakan pola TRAP (Tampung dan manfaatkan, Resapkan ke tanah, Alirkan ke drainase, dan Pelihara masyarakat) sehingga air hujan menjadi tidak terbuang.


    “Beberapa keuntungan memanen air hujan antara lain banjir berkurang, kekeringan berkurang, kesehatan meningkat, pertanian meningkat, perikanana meningkat, air tanah terjaga, lingkungan sehat, alam terjaga, dan masyarakat sejahtera,” katanya.


    8 Program Aksi


    Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Ali Jamil mengatakan, sejumlah langkah antisipasi juga telah disiapkan untuk menghadapi perubahan iklim ekstrem, utama dampak La Nina sebagaimana diprediksi BMKG yang akan terjadi pada akhir tahun ini.


    Ali Jamil menyebutkan, setidaknya ada 8 program aksi yang telah dirumuskan. Pertama, membentuk gerakan brigade yang terdiri dari Brigade La Nina (Sargas OPT-DPI), Brigade Alsintan dan Tanam, serta Brigade Panen dan Serap gabah Kostraling.


    “Kedua, pompanisasi in-out dari sawah, rebilitasi jaringan irigasi tersier atau kwarter, terutama di wilayah rawan banjir,” papar Ali. Ketiga, penyiapan bibit varietas padi tahan rendaman (Inpara 1-10, Inpara 29, Inpara 30 Ciherang sub 1, Inpara 42 agritan).


    Lalu juga toleran salinitas dan varietas unggul lokal yang sudsh teruji, varietas OPT pada daerah endemik, (tahan WBC/Inpara 2, 3, 4, 6), blast, hawar daun bakteri.


    Keempat, memperbaiki cara pascapanen dan mempersiapkan bantuan untuk kegiatan panen dan pascapanen dengan menggunakan pengering (dryer) dan RMU (Rice Milling Unit).


    “Kelima, mengoptimalkan penampungan air dengan pemanfaatan biopori, bangunan penampung air (BPA), normalisasi saluran drainase,” ujarnya.


    Keenam, penerapan bedengan tinggi dan pengunaan sungkup plastik pada tanaman hortikultura. “Ketujuh, pembuatan rorak, parit diskontinu, tanaman penutup tanah pada lahan perkebunan untuk menangkap air dan mencegah erosi,” katanya.


    Terakhir, optimalisasi luas tanam pada lahan kering seperti tanaman hortikutura cabai dan bawang merah dengan penerapan PHT secara efektif, penggunaan varietas unggul toleran OPT dan teknologi inovasi budidaya lainnya.


    Dia mengatakan, strategi Kementan mengantisipasi dampak perubahan iklim juga telah disiapkan 7 langkah. Pertama, melakukan identifikasi dan pemetaan di seluruh wilayah lahan pertanian. Lahan rawan kekeringan dan banjir sebagai wilayah prioritas penanganan.


    “Kedua, berkoordinasi dengsn BMKG dalam menyiapkan sistem peringatan dini (early warning system) dan memantau informasi berupa perkembangan iklim global dan prediksi hujan,” tutur Ali.


    Ketiga, penerapan kalender tanam (KATAM) terpadu. Keempat, membentuk gerakan brigade. “Kelima, memanfaatkan AUTP bagi yang sudah mendaftar,” katanya.


    Keenam, bantuan sarana dan prasarana pertanian untuk daerah terdampak (mitigasi bencana) dan ketujuh, bimbingan teknis adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sektor pertanian.


    Ali Jamil juga menyebutkan, untuk aspek mitigasi, ada dua skenario yang telah disiapkannya. Pertama adalah aspek forecasting, yaitu secara teoritis masalah banjir dapat diminimalkan risikonya apabila kemampuan prakiraan musim dapat dilakukan lebih awal dan akurat.


    “Kedua adalah aspek deliniasi wilayah rawan banjir perlu dilakukan untuk menyusun strategi antisipasi dan memfokuskan penanganan masalah banjir secara spasial dan temporal (antarwaktu),” ujar Ali.


    Aspek deliniasi juga mengilustrasikan pergeseran dan atau peningkatan wilayah rawan banjir dan kekeringan. Sementara untuk adaptasi, Ali menyebut ada empat langkah yang telah disiapkan.


    Pertama ketersediaan informasi dan teknologi tentang banjir dan kekeringan. Kedua, kebijakan dan perencanaan pertanian yang adaptif terhadap perubahan iklim, termasuk terhadap iklim ekstrem yakni banjir dan kekeringan.


    “Berikutnya adalah sistem pendukung kelembagaaan pertanian yang responsif terhadap banjir dan kekeringan,” katanya. Terakhir yakni membangun kepedulian masyarakat, mengilustrasikan pergeseran dan atau peningkatan wilayah rawan banjir dan kekeringan.


    Selanjutnya, Kementan akan memanfaatkan program Asuransi Usaha Tanaman Padi (AUTP) bagi petani yang telah mendaftar. Selain itu, Ali mengatakan, Kementan akan memberikan bantuan sarana dan prasarana pertanian untuk daerah terdampak bencana.


    Terakhir, pihak Kementan akan memberikan bimbingan teknis terkait adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di sektor pertanian. 



    Ikuti Saluran WhatsApp Kami Garutselatan.info Lainnya di Google News

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini